-->

Wednesday, January 6, 2016

Menengok Keindahan Raja Ampat (2) Neng Minke dan Kakek-Nenek Penjelajah 149 Negeri

Menengok Keindahan Raja Ampat (2) Neng Minke dan Kakek-Nenek Penjelajah 149 Negeri

Baru sekitar 45 menit perjalanan laut ketika laju speedboat dihentikan. Ternyata salah satu dari dua mesin berdaya masing-masing 40 PK itu kehabisan solar.

Saya melayangkan pandangan keliling. Sejauh mata yang terbentang hanya laut membiru. Warna itu perlahan kian gelap saat saya perhatikan lebih seksama: tanda laut dalam. Sesekali sekawanan burung terbang merendah di dekat kapal kami berhenti. Sekitar 50 meter dari kapal saya melihat seekor burung tengah beristirahat di permukaan laut yang nyaris tanpa gelombang. Bebek laut, mereka terbang setelah diam di permukaan laut cukup lama,kata Fandi. Jika mujur, kita bisa melihat paus melintas atau kawanan lumba-lumba melompat-lompat.

Segera saja Muhammad Said, pemuda tanggung usia awal belasan tahun yang sejak berangkat nongkrong di haluan, setengah berlari menuju buritan. Dibantunya Najib mengisi tangki berupa jerigen yang diletakkan horizontal di palka dengan menyedot solar lebih dulu via selang.

Untung saya sempat terpikir bawa jaket, kata Ervik Susanto, teman yang mengajak saya ikut dalam perjalanan ini. Sebelumnya tak ada di antara kami yang bicara. Deru angin yang kencang membatasi keinginan kami mengobrol. Ervik berbicara sambil melirik dua teman kami lainnya, Arum dan Iin keduanya laki-laki, yang sepanjang perjalanan cukup kelabakan dihajar angin laut. Dua orang itu hanya nyengir. Iin membuka resluiting tasnya, mengubek-ubekkan tangan sebelum mengeluarkan selembar syal yang langsung ia lilitkan membalut leher.

Perlu 180 liter solar pulang pergi, kata Fandi, saat kami bertanya berapa liter bahan bakar yang diperlukan untuk perjalanan bolak balik Waisai-Pulau Painemo. Itu hanya untuk menjangkau Painemo yang hanya berjarak 1,5 sampai dua jam perjalanan laut, tergantung kondisi laut. Tentu perlu bahan bakar yang jauh lebih banyak untuk menjangkau Pulau Wayag yang jarak perjalanannya saja dua kali lipat.

Tapi Pulau Wayag lebih indah dan punya variasi biota laut yang lebih banyak, kata Ervik. Itu juga kata artikel yang saya baca, he he he sambungnya cepat.

Ervik benar. Perairan Raja Ampat memang sorga bagi para pecinta dunia bawah laut. Perairan di sana kaya akan keanekaragaman kehidupan bawah laut, mulai dari karang atau pun hewan-hewan laut lainnya. Dr John Veron, ahli karang berpengalaman asal Australia, sempat menyatakan, Kepulauan Raja Ampat memiliki kawasan karang terbaik di Indonesia. Hanya dua pekan melakukan identifikasi di kawasan itu, ia dan timnya menemukan sekitar 450 jenis karang.

Pada awal millennium, gabungan para ahli dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan penilaian cepat di kawasan itu. Mereka mencatat di perairan tersebut terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen total jenis yang ada di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, 700 jenis moluska atau hewan bertubuh lunak. Data itu berarti bahwa 75 persen spesies karang dunia ada di Raja Ampat. Mereka mengakui, tak ada satu pun tempat dengan luas area yang sama di dunia, memiliki jumlah spesies karang sebanyak itu.

Yang menarik dari titik-titik penyelaman di sana, dengan banyaknya pulau dan selat sempit, sebagian besar tempat penyelaman pada waktu tertentu berarus kencang. Hal itu memungkinkan para penyelam melakukan drift dive, yakni menyelam sambil mengikuti arus kencang berair jernih, sambil menerobos schooling fish, alias gerombolan ikan yang jumlahnya bisa ribuan. Penyelam mana yang tak akan ngiler?

Sebentar lagi kita sampai, kata Najib, asisten Kapten Fandi, menunjuk gugusan pulau-pulau kecil yang terpampang di depan haluan. Lima belas menit kemudian kapal kami mulai memasuki gugusan pulau-pulau kecil itu. Mesin dijalankan pelan saat kapal masuk ke kerumunan pulau-pulau itu. Gerakannya lincah menyelip di selat-selat kecil yang ada. Inilah gugusan Painemo.

Di ujung-ujung dermaga yang terbuat dari kayu itu berdiri beberapa rumah. Disewakan untuk mereka yang ingin menginap di sana. Belakangan saya tahu tarifnya Rp 500 ribu per orang semalam. Ervik lebih dulu naik ke dermaga bersama Fandi, untuk melaporkan kedatangan kami kepada pihak berwenang di sini. Saya juga naik, awalnya untuk sekadar melenturkan urat-urat kaki yang kaku selama perjalanan.

Saat menyusuri dermaga kayu, saya terperangah kagum. Saya merasa seolah tengah berjalan di atas akuarium. Melihat pemandangan di bawah, kanan-kiri, air pantai tampak sebening kaca. Di dasarnya, terumbu karang dengan warna aneka rupa melambai-lambai, mengajak saya mencebur dan menyentuhnya. Di seputar karang-karang itu terlihat ikan-ikan kecil beraneka warna bermain berkeliaran.

Sesekali segerombol ikan kecil-kecil seperti teri melintas dalam gerakan cepat, seolah sekawanan pengungsi yang hendak bermigrasi. Di antara mereka tampak beberapa ikan besar menyelip, memberi warna lain. Pemandangan pun jadi penuh warna gabungan gerombolan ikan, karang dan ikan-ikan besar itu: merah, kuning, hijau, biru. Di sebuah sudut mengintip seekor ikan badut. Hei, Nemo! Mungkinkah karena adanya ikan badut itu maka gugus pulau ini disebut Painemo? Tentu saja bukan!

Tiba-tiba, tanpa saya sadari seorang bule berusia di atas 60-an tahun telah berada di samping saya.

Anda dari Waisai? tanya dia dalam bahasa Inggris. Saya iyakan.

Akan kembali hari ini juga atau bermalam di sini?ia kembali bertanya. Saya jawab, kami hanya datang untuk membuat dokumentasi singkat pulau ini. Secepatnya kami kembali, bahkan mungkin kami tak akan nyemplung ke laut, kata saya. Saat ia mengatakan sebenarnya sayang bila saya tidak menyelam atau setidaknya berenang di sana, saya segera membenarkan.

Akhirnya ia mengaku sedang kesulitan untuk pulang dan meminta bantuan kami untuk ikut saat kami kembali. Kemarin kami ke sini, menginap dan berpikir transportasi pulang ke Waisai tak sesulit ini. Kami salah tidak memilih perjalanan bolak balik atau minta dijemput lagi, kata dia. Kata kami ia gunakan karena si kakek datang bersama istrinya.

Kakek itu mengaku bernama Volker Penselin, turis asal Hamburg, Jerman. Bersama istrinya, Dorothea Penselin, ia mengaku sudah tujuh kali datang mengunjungi pulau-pulau Indonesia. Perjalanan pertama mereka ke Tanah Air terjadi tahun 1972. Kali ini memang tujuan kami Raja Ampat, yang keindahannya kami temukan dari informasi situs internet, kata Volker.

Kami tak lama berbincang. Saya meminta Volker menunggu saja di sana. Kami akan menjemputnya setelah berkeliling.

Fandi mengantar kami ke Pulau Painemo yang sekaligus menjadi nama gugusan pulau-pulau kecil ini. Di dermaga, tampak anak-anak usia SD yang paginya baru saja menyambut kedatangan Presiden Jokowi dengan tari-tarian dan musik. Saat kapal kami bersandar, pelatih mereka melihat kamera yang kami bawa. Woi, mari kita menari lagi untuk Bapak-bapak ini! katanya, mengajak anak-anak itu. Serempak mereka pun bergerak menari, meningkahi musik dari gitar dan suling. Tak urung, Iin dan Arum, kameraman yang kami bawa, mengabadikan momen tersebut selama beberapa menit.

Nanti lihat di tv, kata Arum kepada anak-anak yang menyambutnya dengan ceria. Dan Arum memang tidak sedang bergurau.

Saat melakukan pendakian untuk bisa menikmati keindahan gugusan pulau-pulau tersebut, di hati saya terbersit sedikit kekaguman kepada Presiden Jokowi. Lumayan bagus juga staminanya. Bukan gampang mendaki 320 anak tangga selebar satu meter yang menanjak curam itu. Saya perlu dua kali istirahat sebelum sampai di atas dan segera ditebus keindahan panorama alam yang begitu membius. Arum yang paling kepayahan di antara kami bahkan sampai meneriaki, manakala kami memutuskan sesegera mungkin sampai di atas.

Waah, sok kuat kalian, katanya. Namun ia pun melanjutkan langkah dan sampai juga akhirnya. Mungkin keinginannya untuk memotret, membuat film dan menerbangkan drone untuk mengabadikan keindahan Painemo, mengalahkan semua rasa lelah dan pegal di kakinya.

***

Di perjalanan pulang kami singgah di Desa Arborek yang terletak di sebuah pulau kecil berjarak 15 perjalanan laut dari Painemo. Maksudnya untuk makan siang, karena kru kapal bilang kami bisa makan di sana. Tapi batal, karena warung-warung yang ada hanya menyediakan berbagai jenis mie instan. Akhirnya kami hanya menikmati kopi, termasuk pasangan Penselin.

Kepada keduanya saya bertanya, sudah berapa negara yang mereka jelajahi bersama selama ini? Pertanyaan iseng saja, lebih berdasarkan keyakinan bahwa tentu tak hanya Indonesia yang telah mereka jelajahi.

Sudah 149, kata Dorothea, wajahnya datar saja. Mungkin tahun depan kami akan mengunjungi negara-negara yang belum kami singgahi. Saya terkejut. Angka itu tentu saja bukan jumlah yang sedikit.

Really? kata saya.

Ya, beberapa di antaranya kami kunjungi berkali-kali. Indonesia yang indah ini sudah kami kunjungi tujuh kali. Volker ikut nimbrung.

Saya menggeleng-geleng. Saya sempat bertanya apa profesi mereka di Jerman sehingga begitu mudahnya menutupi ongkos untuk hoby semahal yang mereka suka. Volker hanya bilang mereka punya bisnis kecil, tanpa menjelaskannya lebih lanjut. Saya sendiri merasa tidak pasda tempatnya untuk mengejar.

Kami bukan orang kaya, kalau Anda menduga begitu, kata Dorothea. Hanya standard daya beli uang kami cukup bagus, sehingga dengan dana yang kami punya, kami bisa mendapatkan harga yang bagus di tempat-tempat yang kami kunjungi.

Dorothea mengaku berusia 67 tahun saat saya tanya. Begitu pula Volker. Usia yang membuat saya kagum dengan stamina yang mereka punya. Bukan apa-apa, keduanya masing-masing harus menggendong tas punggung besar-besar selama bepergian. Volker bahkan masih harus menangani sebuah backpack ukuran sedang sebagai tambahan.

Saya ingin belajar banyak dari perilaku manusia dan budayanya, kata Dorothea, sebagai jawaban pertanyaan saya akan apa yang memotivasinya untuk melakukan banyak perjalanan. Setiap negara, bahkan seringkali setiap masyarakat, memiliki perilaku dan budayanya sendiri. Dari semua keunikan itu saya bisa belajar banyak, ia menambahkan.

Saya merasa pernyataan itu terlalu formal. Terlalu akademis dan memberi kesan laiknya pernyataan masyarakat kita saat sadar mereka masuk TV. Akhirnya kami ngobrol hal-hal lain, termasuk bir, sepakbola, dan karena mereka orang Jerman, tentang Goethe danKarl May!

Yang terakhir itu bahkan kunci yang pas buat komunikasi di antara kami. Volker dan Dorothea ternyata penggemar fanatik Karl May, penulis cerita petualangan yang terkenal di Indonesia pada era 1950 sampai 1960-an.

Saya membaca tuntas seri seluruh Amerika dan seri Arab itu dari usia 9 sampai 11 tahun, kata Dorothea, matanya berbinar. Anda orang asing pertama yang mengajak kami bicara soal Karl May, kata Volker, menjelaskan.

Tiba-tiba sebuah kecurigaan terbersit di kepala saya. Saya yakin, sebenarnya yang memotivasi Anda untuk banyak menjelajah dunia, ya bacaan Anda soal Karl May, ya kan, Dorothea? tanya saya, menohok.

Dorothea tergelak, begitu pula suaminya. Akhirnya ia mengakui juga. Ya, memang. Bahkan janji saya ke dalam diri, untuk sudah mengunjungi 50 negara di usia 45 tahun pun datang setelah saya membaca ulang sebuah buku Karl May. Saya masih memegang buku ketika pikiran itu melintas, kata dia. Niat itu datang di saat usianya masih dalam hitungan akhir belasan.

Dorothea mengaku, kian banyak ia menjelajahi dunia, semakin kagum pula dirinya akan pengarang idolanya itu. Saya membayangkan, menulis sebuah tempat di luar negeri dengan cukup detil, sementara kepustakaan saat itu masih terbatas, kata dia.

Dan Google pun belum ada, kata saya, menyergah.

Ya, dan Google bahkan belum lagi ada, kata dia, kembali terbahak.

Pembicaraan pun mengalir lebih lancar, meski kendala bahasa sesekali membatasi kami. Barangkali, rasa akrab pula yang membuat keduanya bahkan mau-maunya memberikan testimony keindahan alam Indonesia yang kami rekam. Entah buat apa, yang pasti kami yakin tak ada footage yang sia-sia. Semua akan berguna pada saatnya, kami pikir. Pasangan suami istri yang memiliki 40-an ribu foto keindahan alam negeri-negeri yang telah mereka jelajahi itu bahkan mau direkam kamera saat mengucapkan,Wonderful Indonesia, sembari mengacungkan kedua tangan mereka.

Di laut lepas antara Arborek dan Waigeo, tiba-tiba najib berteriak seraya menunjuk-nunjuk ke sisi kanan, searah laju kapal kami. Paus! Paus! teriaknya. Saya arahkan pandangan ke titik yang ditunjuk Najib. Jantung saya langsung berdegup keras. Ada rasa hangat mengalir di tubuh saya seiring tingginya kegembiraan yang saya alami. Hanya berjarak tiga meter dari kapal kecil kami, seekor paus berukuran sekitar 10 meter berenang sejajar. Sesekali tubuhnya muncul ke atas permukaan, menambah sensasi yang saya alami.

Mungkin perasaan seperti itu pula yang dirasakan Kapten Ahab, kapten kapal pemburu paus dalam novel Herman Melville yang terkenal, Moby Dick? Yang berbeda mungkin hanya apa yang bergelora di dada. Ahab penuh gairah untuk menancapkan harpoon dan membunuh, sementara saya geregetan karena batere hand phone saya sudah begitu lemah untuk dipakai memotret. Kedua kameraman kami? Pendakian puncak Painemo dan angin laut telah membuat mereka rebah dan kini berada di alam sana.

Orang bilang itu paus Minke, kata Fandi. Jenis paus kecil. Yang kita lihat itu ukuran terbesar untuk jenis mereka. Bagi saya, mungkin saja yang barusan saya lihat itu adalah ukuran paus terbesar yang saya lihat langsung di habitat mereka, lautan luas ini.

Hanya sekitar dua menit Neng Minke menemani perjalanan kami. Setelah itu ia menyelam dan tak terlihat lagi hingga kami tiba di dermaga Waisai. Di sana pula kami berpisah dengan sejoli, kakek-nenek petualang dunia, Volker dan Dorothea. Sebelum berpisah, entah berapa kali kami dengar keduanya mengucapkan terima kasih.

Sayang, waktu yang kami miliki tak cukup panjang. Tidak hanya melewatkan kesempatan menyelam dan menyentuh keindahan bawah laut Raja Ampat langsung dengan indra yang ada, kami juga luput mengunjungi gugusan Pulau Misool. Kami tak sempat melihat peninggalan prasejarah berupa cap tangan yang tertera jelas di dinding-dinding batu karang.

Berdasarkan cerita teman-teman yang melihatnya, cap-cap tangan itu begitu dekat dengan permukaan laut, di luar gua. Usia cap-cap tangan itu diperkirakan sekitar 50 ribu tahun. Usia itu menjadi rangkaian penanda jalur penyebaran manusia dari kawasan barat Nusantara menuju Papua dan Melanesia.

Kami juga telat membaca bahwa di pengujung tahun selalu ada fenomena alam yang unik di Raja Ampat. Di pantai Waigeo timur, terutama di depan kampung Urbinasopen dan Yesner, di saat-saat itu kerap ada cahaya yang memancar dari laut selama sekitar 10-15 menit. lalu hilang, sampai datang lagi di pengujung tahun berikutnya. Warga setempat menyebutnya Hantu Laut.

Tetapi semua itu tidak membuat saya terlalu kecewa. Bukankah justru hal-hal itu membuat saya punya alasan untuk kembali ke Raja Ampat, suatu waktu?

Via : Inilah

Previous
Next Post »